Sabtu, 01 November 2014

Biografi Agus Pramono – Pemilik Ayam Bakar Mas Mono



Menjadi office boy, tukang gorengan dan sales adalah sederet pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab dipanggil Mas Mono ini. Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak disangka meledak di pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang dengan omset puluhan juta per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta rupiah.

Cukup sulit membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
                                                                                               
Putus kerja tapi hidup harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti hidup dengan menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh lahan, karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari, saya beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai berjualan 5 ekor ayam perhari.





Wangi kepulan asap dari ayam bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke hari, pelanggannya makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu menghabiskan 80 ekor ayam per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah terindah. Saya serasa punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi. Alhamdulillah saya dikasih lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu seterusnya hingga mampu menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380 potong. Dengan kondisi tempat masih di kaki lima itu sebuah pencapaian yang luar biasa!” Ungkapnya.
                                                 
Bencana Penggusuran

Naas bagi Mas Mono, disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana penggusuran pun melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu saya benar-benar kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama, bisnis penjualan saya tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana dengan nasib 6 karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-tanya lokasi ke setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan menunjukkan tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang bernama Novieta ini.
                                                                     
Di Tebet, kebingungan pun belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru, lokasi yang tidak strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi bisnisnya. Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar pelanggan kembali ramai.
 


Tak jarang iapun mengajak bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi barunya. Hasilnya, pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya, pelanggan pun terus berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya bisa menyewa tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan hingga makan pun harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak terlalu jauh,” ujar suami dari Nunung ini.
                                                  
Rupanya ujian belum selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan bisnisnya itu, flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan merajalelanya flu burung, spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya terus belajar untuk syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini telah mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.
                                           
                                    


20 Cabang, Ribuan Ekor per Hari

Setelah hampir 10 tahun berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang didirikannya kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar dibeberapa wilayah di Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat, Cileduk, dan daerah lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa menghabiskan sekitar 150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi tradisional modern. Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini market leader di dunia kuliner,” harapnya.

Mengenai omset, jangan ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga 8 jutaan. Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya seperti bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya mengambil segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi siapapun. Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup murah, hanya 13 ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400 karyawan ini.




Bahkan bisnis ayam bakar yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam waktu singkat, iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke berbagai daerah bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya fokuskan untuk menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi ke berbagai wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual ayam sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.
                                   
Kiat sukses pengusaha ayam bakar Mas mono
 







Saat ingin membuka sebuah usaha, kendala utama yang biasa dihadapi calon entrepreneur adalah nyali, nyali untuk mengambil langkah pertama. Perasaan takut gagal dan rugi selalu menghantui para calon pengusaha.

Agus Pramono, perintis restoran Ayam Bakar Mas Mono mengatakan, bisnis yang bagus adalah bisnis yang dibuka, bukan yang dipikirkan. Menurutnya, ini merupakan ilmu dasar yang harus dimiliki para entrepreneur.

"Kalau bisnis dipikir itu pasti malah tidak dibuka-buka karena cuma dipikir terus. Tapi kalau bisnis dibuka pasti nanti mau tidak mau ya dipikirkan. Ibaratnya mandi, tidak mungkin mau mandi kita pikir dulu mandinya sukses atau tidak," celetuknya di tengah-tengah seminar entrepreneurship yang digelar Politeknik.

Menurutnya, pola pikir yang salah selama ini adalah untuk menjadi entrepreneur modal utama adalah uang. Padahal uang bukanlah segalanya dan bukan modal utama. Pengalaman Mas Mono dalam mengembangkan restoran ayam bakar dapat dijadikan contoh.

"Saya sudah tahunan jadi penyedia catering untuk berbagai acara di stasiun TV dan sejak awal hingga detik ini semua dijalani tanpa MoU. Modalnya adalah kredibilitas supaya bisa dipercaya sama orang," ungkapnya.

Selain itu, Masmono mengatakan modal yang terpenting adalah niat. Ia percaya bahwa dengan niat pasti ada jalan. "Jangan takut rugi, karena memang harus merasakan kerugian dan gagal dulu, nikmati saja prosesnya."

"Sukses itu adalah kalau kita bisa atur waktu, bukan waktu yang mengatur kita.

Dengan menjadi entrepreneur banyak yang bisa didapatkan. Selain kebebasan finansial, kita juga memiliki kebebasan waktu dalam hidup kita. "Bisnis jalan, yang punya jalan-jalan," canda Mas Mono.

Namun dibutuhkan mental yang kuat untuk menjadi seorang pebisnis yang sukses. Kuncinya menurut Masmono adalah jangan takut rugi. Kerugian yang dimaksud Mas Mono bukan hanya kerugian secara materi tapi juga kerugian waktu, pikiran, dan tenaga. "Saya selalu berpesan, carilah bisnis yang rugi. Dengan kerugian itu kita bisa belajar banyak hal. Jangan bangga kalau punya bisnis tidak pernah rugi," ungkap Mas Mono.

Sumber :                                                 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar